Teuku Umar – Cut Nyak Dien, Kisah Jihad dan Cinta Perang Aceh


“Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu mesjid kita dibakarnya! Mereka menentang Allah Subhanahu Wa Ta’ala, tempatmu beribadah dibinasakannya! Nama Allah dicemarkannya! Camkanlah itu! Janganlah kita melupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kafir yang serupa itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?” (Madelon H. Székely-Lulofs, 1951:59)
Teuku Umar Seorang Mujahidin Aceh yang Jago Taktik dan Istrinya seorang Mujahidah Cut Nyak Dien yang Berhati Baja. Pasangan yang serasi melawan penjajahan Belanda di Aceh.

Rumah Teuku Umar di Lampisang, Peukan Bada, Aceh Besar tahun 1896
Teuku Umar yang dilahirkan di Meulaboh Aceh Barat pada tahun 1854, adalah anak seorang Uleebalang bernama Teuku Achmad Mahmud dari perkawinan dengan adik perempuan Raja Meulaboh. Umar mempunyai dua orang saudara perempuan dan tiga saudara laki-laki.

Teuku Umar
Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang VIMukim, yang juga merupakan keturunan Datuk Makhudum Sati, perantau dari Minangkabau. Datuk Makhudum Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan keturunan Minangkabau. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan Belanda.

Cut Nyak Dien
Kisah Cinta & Pernikahan Keduanya
Teuku Umar : “Bah Matéé Lôn, Cut Nyak Tulak Cinta Lôn…”
Kekecewaan dan kesedihan akibat ditinggal suaminya Ibrahim Lamnga dan darah kepahlawanan yang mengalir dari keluarganya menjadi dasar kuat bagi Cut Nyak Dhien. Teuku Ibrahim Lamnga itu mati syahid dalam perang lawan belanda di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal inilah yang membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.
Bahkan ia pernah berjanji akan bersedia kawin dengan laki-laki yang dapat membantunya untuk menuntut bela terhadap kematian suaminya. Adalah suatu hal yang tepat bila kemudian datang seorang laki-laki yang bersedia membantu Cut Nyak Dhien membalaskan dendam kepada Belanda, setelah bertahun-tahun menjanda.
Selama sepeninggal suaminya itu, cut nyak dhien-lah yang memimpin pasukan perang. Sempat terfikir dalam benaknya, siapa kiranya yang bisa memimpin pasukan perang ini. Cut Nyak dhien pun sempat mencermati siapakah yang pantut menjadi pendamping dirinya dan sanggup memimpin pasukan perang yang dididiknya, yang sudah ditinggal kan almarhum Teuku Ibrahim Lamnga.
Setelah bertahun-tahun menjanda. Suatu ketika, Datanglah seorang lelaki Ia di gelar Teungku di Meulaboh. Ternyata, Lelaki ini jatuh Hati pada saat pandangan pertama kali melihat Cut Nyak Dhien. Dialah Teuku Umar dari Meulaboh. Teuku Umar pun akhirnya berniat melamar Cut Nyak Dhien.
” Saya bersedia menjadi panglima perang pasukan ini. Namun, dengan syarat Cut Nyak Dhien bersedia menjadi isteri saya…” Kata Umar
Cut Nyak sangat terkejut mendengar pernyataan Umar, Lamaran tersebut ditolak Cut Nyak mentah-mentah. Umar hanya dapat menarik nafas panjang mendengar penolakan itu, hanya itu yang bisa ia lakukan setelah mendengar cintanya di tolak Cut Nyak Dhien?
Walau sempat di kecewakan. Rupanya, semangat Umar berusaha untuk mendapatkan cinta Cut Nyak tidak kandas begitu saja. Sangking besar cintanya itu, akhirnya Umar membuat sebuah adegan (rekayasa), itu rela ia lakukan hanya demi mendapatkan perhatian dari Cut Nyak Dhien.
Suatu hari, Seperti biasanya Cut Nyak Dhien sedang melatih pasukan berpedang. Tiba-tiba dihadapannya lewat begitu banyak orang, dan beberapa diantaranya terlihat sambil mengangkat tandu, Segera Cut Nyak lari mendekat, dan menghentikan mereka.
Cut Nyak : ‘Pakôn nyôe? (kenapa ini?)’
Ia melihat Teuku Umar di atas tandu berdarah-darah hampir meninggal.
Umar : ‘Lôn meujak Woe (saya mau pulang -(ke meulaboh-red)- )’, jawab Teuku Umar lirih.
Cut Nyak : ‘Bék, ta peu ubat dile nyoe. Meusti ta peubat diléé. Bék putoh asa.’ (Jangan, kita obati dulu, harus kita obati ini, Jangan putus asa begitu).’ Kata cut Nyak dhien dengan nada gelisah.
Umar : ‘Bah matéé lon, Cut Nyak tulak cinta lôn, (Biar saya mati saja, Cut Nyak pun menolak cinta saya)’, kata Teuku Umar dengan nada putus asa.
Cut Nyak : ‘ Ta peu ubat nyoe diléé, euntreuk ta peu buet nyan…” (kita obati ini dulu, nanti baru kita urus yang itu )’’ jawab Cut Nyak Dhien meyakinkan Umar.
Umar : ‘Hana peu, Cut Nyak jôk manteung ubat nyan keu lôn..” (Tak Apa, Cut Nyak beri saja obat itu ke saya)’ kata Teuku Umar.
Setelah beberapa hari kemudian, Teuku Umar pun sembuh dari luka “tipu-tipunya”. Umar pun datang menagih janji pada Cut Nyak Dhien.
Umar :‘Cut Nyak kaleuh meujanji ngon lôn koen..? (Cut nyak sudah berjanji dengan saya kan…?)’
Cut Nyak Dhien wanita saleh, tegas, satu kata dengan perbuatan. Karena telah berjanji Cut Nyak mau tidak mau juga harus memenuhi janjinya tadi. Singkat cerita, Menikahlah Cut Nyak dengan teuku Umar. Bersatunya dua Sejoli ini mengobarkan kembali semangat juang rakyat Aceh. Kekuatan yang telah terpecah kembali dipersatukan.
Pada satu waktu Teuku Umar sedang mandi, Cut Nyak Dhien dengan rasa penasarannya akan luka yang pernah di alami Teuku Umar.
Karena penasaran, di telitilah Cut Nyak dimana akan bekas luka yang ditusuk belanda hingga berdarah-darah tempo hari.
Cut Nyak ; ‘Ampôn…, pat luka ditusôk léé belanda sampoe meudarah-darah watéé nyan? (Ampon, dimana luka ditusuk belanda sampai berdarah-darah waktu itu?)’
Teuku Umar hanya tersenyum tertunduk.
Umar : ‘Hana nyan…!, nyan kôn bah Cut Nyak teum ngon lon’ (Tidak, kan itu agar Cut Nyak mau nikah dengan saya)’ jawab Teuku umar tergelak.
Cut Nyak : ‘Ka ji tipéé lon léé ampon nyoe lagoe’ (Sudah ditipunya saya rupanya)’ Gelak tawapun tak terhindarkan.
Itulah yang dimaksud teuku Umar pandai menipu, banyak sekali akal. Termasuk belanda pun akhirnya pernah di tipu olehnya.
Setelah menikah, keduanya keduanya berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda.  Teuku Umar kemudian mencari strategi untuk mendapatkan senjata dari pihak Belanda. Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek Belanda.
Belanda berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Gubernur Van Teijn pada saat itu juga bermaksud memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat Aceh. Teuku Umar kemudian masuk dinas militer.
Ketika bergabung dengan Belanda, Teuku Umar menundukkan pos-pos pertahanan Aceh, hal tersebut dilakukan Teuku Umar secara pura-pura untuk mengelabuhi Belanda agar Teuku Umar diberi peran yang lebih besar. Taktik tersebut berhasil, sebagai kompensasi atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pang Laot (panglima Laut]) sebagai tangan kanannya, dikabulkan.
Insiden Kapal Nicero
Tahun 1884 Kapal Inggris ”Nicero” terdampar. Kapten dan awak kapalnya disandera oleh raja Teunom. Raja Teunom menuntut tebusan senilai 10 ribudolar tunai. Oleh Pemerintah Kolonial Belanda Teuku Umar ditugaskan untuk membebaskan kapal tersebut, karena kejadian tersebut telah mengakibatkan ketegangan antara Inggris dengan Belanda.
Teuku Umar menyatakan bahwa merebut kembali Kapal “Nicero” merupakan pekerjaan yang berat sebab tentara Raja Teunom sangat kuat, sehingga Inggris sendiri tidak dapat merebutnya kembali. Namun ia sanggup merebut kembali asal diberi logistik dan senjata yang banyak sehingga dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama.
Dengan perbekalan perang yang cukup banyak, Teuku Umar berangkat dengan kapal “Bengkulen” ke Aceh Barat membawa 32 orang tentara Belanda dan beberapa panglimanya. Tidak lama, Belanda dikejutkan berita yang menyatakan bahwa semua tentara Belanda yang ikut, dibunuh di tengah laut. Seluruh senjata dan perlengkapan perang lainnya dirampas. Sejak itu Teuku Umar kembali memihak pejuang Aceh untuk melawan Belanda. Teuku Umar juga menyarankan Raja Teunom agar tidak mengurangi tuntutannya.
Teuku Umar membagikan senjata hasil rampasan kepada tentara Aceh, dan memimpin kembali perlawanan rakyat. dan Teuku Umar berhasil merebut kembali daerah 6 Mukim dari tangan Belanda. Nanta Setia, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar kembali ke daerah 6 Mukim dan tinggal di Lampisang,Aceh Besar, yang juga menjadi markas tentara Aceh.
2 tahun setelah insiden Nicero, pada 15 Juni 1886 merapatlah ke bandar Rigaih kapal “Hok Canton” yang di nahkodai pelaut Denmark bernama Kapten Hansen, dengan maksud menukarkan senjata dengan lada. Hansen bermaksud menjebak Umar untuk naik ke kapalnya, menculiknya dan membawa lari lada yang bakal dimuat, ke pelabuhan Ulee Lheu, dan diserahkan kepada Belanda yang telah menjanjikan imbalan sebesar $ 25 ribu untuk kepala Teuku Umar.
Umar curiga dengan syarat yang diajukan Hansen, dan mengirim utusan. Hansen berkeras Umar harus datang sendiri. Teuku Umar lalu mengatur siasat. Pagi dini hari salah seorang Panglima bersama 40 orang prajuritnya menyusup ke kapal. Hansen tidak tahu kalau dirinya sudah dikepung.

J.B. van Heutsz sedang memperhatikan pasukannya dalam penyerangan di Perang Aceh
Paginya Teuku Umar datang dan menuntut pelunasan lada sebanyak $ 5 ribu. Namun Hansen ingkar janji, dan memerintahkan anak buahnya menangkap Umar. Teuku Umar sudah siap, dan memberi isyarat kepada anak buahnya. Hansen berhasil dilumpuhkan dan tertembak ketika berusaha melarikan diri. Nyonya Hansen dan John Fay ditahan sebagai sandera, sedangkan awak kapal dilepas. Belanda sangat marah karena rencananya gagal.
Perang pun berlanjut, pada tahun 1891 Teungku Chik Di Tiro dan Teuku Panglima Polem VIII Raja Kuala (ayah dari Teuku Panglima Polem IX Muhammad Daud) gugur dalam pertempuran. Belanda sebenarnya pun sangat kesulitan karena biaya perang terlalu besar dan lama.
Teuku Umar sendiri merasa perang ini sangat menyengsarakan rakyat. Rakyat tidak bisa bekerja sebagaimana biasanya, petani tidak dapat lagi mengerjakan sawah ladangnya. Teuku Umar pun mengubah taktik dengan cara menyerahkan diri kembali kepada Belanda.
September 1893, Teuku Umar menyerahkan diri kepada Gubernur Deykerhooff di Kutaraja bersama 13 orang Panglima bawahannya, setelah mendapat jaminan keselamatan dan pengampunan. Teuku Umar dihadiahi gelar Teuku Johan Pahlawan Panglima Besar Nederland. Istrinya, Cut Nyak Dien sempat bingung, malu, dan marah atas keputusan suaminya itu. Umar suka menghindar apabila terjadi percekcokan.
Teuku Umar menunjukkan kesetiaannya kepada Belanda dengan sangat meyakinkan. Setiap pejabat yang datang ke rumahnya selalu disambut dengan menyenangkan. Ia selalu memenuhi setiap panggilan dari Gubernur Belanda di Kutaraja, dan memberikan laporan yang memuaskan, sehingga ia mendapat kepercayaan yang besar dari Gubernur Belanda.
Kepercayaan itu dimanfaatkan dengan baik demi kepentingan perjuangan rakyat Aceh selanjutnya.
Pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar.
Berita larinya Teuku Umar menggemparkan Pemerintah Kolonial Belanda. Gubernur Deykerhooff dipecat dan digantikan oleh Jenderal Vetter. Tentara baru segera didatangkan dari Pulau Jawa. Vetter mengajukan ultimatum kepada Umar, untuk menyerahkan kembali semua senjata kepada Belanda. Umar tidak mau memenuhi tuntutan itu. maka pada tanggal 26 April 1896 Teuku Johan Pahlawan dipecat sebagai Uleebalang Leupung dan Panglima Perang Besar Gubernemen Hindia Belanda.
Teuku Umar mengajak uleebalang-uleebalang yang lain untuk memerangi Belanda. Seluruh komando perang Aceh mulai tahun 1896 berada di bawah pimginan Teuku Umar. la dibantu oleh istrinya Cut Nyak Dhien dan Panglima Pang Laot, dan mendapat dukungan dari Teuku Panglima Polem Muhammad Daud. Pertama kali dalam sejarah perang Aceh, tentara Aceh dipegang oleh satu komando.
Belanda memburu Teuku Umar dan Cut Nyak Din, pada suatu penyerangan mendadak di daerah Meulaboh, Teuku Umar tertembak. Ia syahid pada tanggal 11 Februari 1899. Selanjutnya tampuk pimpinan perang melawan Belanda diambil alih oleh Din. Selama kurun waktu enam tahun ia memimpin gerilya.

Cut Nyak Dien, setelah tertangkap oleh pihak Belanda
Sampai suatu ketika, anak buahnya, Pang Laot meminta dengan iba kepada pihak Belanda supaya memperlakukan Din dengan baik, mengingat Din semakin lemah keadaanya. Penyakit encok dan rabun menyerangnya. Belanda akhirnya menemukan tempat persembunyian Din, serta menangkapnya. Karena berpendapat tidak tepat membiarkan Din di Aceh karena suatu saat semangat Aceh akan kembali bergelora, ia diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat, pada Tahun 1905. Dan Din menutup matanya tidak di tanah Aceh lagi, tetapi di tanah Sumedang.
Semoga kisah ini bermanfaat.. Dan melahirkan mujahidin & mujahidah seperti beliau.
Referensi :
1. wikipedia
2. Cut Nyak Dien: Kisah Ratu Perang Aceh Oleh : Madelon H. Székely-Lulofs
3. Situs atjchecyber
Sumber : Dulah Islam 

Komentar